Pelaku melakukan kejahatan dan dihukum dalam jangka waktu tertentu, lalu dibiarkan bebas dan kembali ke masyarakat. Sementara korban harus menanggung kesengsaraan seumur hidupnya — bahkan nyawa sebagai gantinya.
“Tragedi Pedang Keadilan” atau 「さまよう刃」karya Keigo Higashino lagi-lagi sukses bikin aku terkesan. Melalui 462 halaman buku, aku seakan diajak untuk melihat dari sisi lain — betapa tidak adilnya sistem hukum buatan manusia di masyarakat. Keigo mengkritik mengenai Hukum Pidana Anak yang, menurutnya, tidak adil bagi korban.
Awal cerita, kita akan diperkenalkan dengan seorang ayah tunggal bernama Nagamine yang tinggal bersama putrinya, Ema. Bagi Nagamine, Ema satu-satunya harta yang berharga setelah ia ditinggal mati oleh istrinya.
Hidupnya berubah 180° ketika tiga — lebih tepatnya dua orang, yang dikuasai nafsu merenggut Ema dari hidup Nagamine. Sugano Kaiji, Tomozaki Atsuya, dan Nakai Makoto. Sugano dan Tomozaki bak monster berbalut nafsu, menculik perempuan dan memerkosanya. Mereka bahkan merekam aksinya seolah-olah itu kenangan berharga.
Mual. Lebih gilanya lagi, mereka di bawah umur. Mereka hanya dikenai Hukum Pidana Anak apabila tertangkap, sementara perempuan-perempuan itu membawa trauma dalam dirinya seumur hidup. Tidak adil.
Nakai Makoto adalah jembatan bagi Sugano dan Tomozaki untuk melancarkan aksinya. Ia sebenarnya tahu apa yang dilakukan dirinya dan mereka itu salah, tetapi ia tidak punya cukup keberanian untuk menolak Sugano karena takut dengan ancamannya. Untungnya dia masih memiliki sedikit hati nurani untuk mengadukannya pada pihak berwajib.
Ema sebagai salah satu korban mereka kemudian meninggal dunia setelah Sugano dan Tomozaki memerkosanya. Bagi mereka, ini pertama kalinya. Sehingga, ketika ia mengetahui korbannya telah meninggal, paniknya tidak main.
Namun, monster dalam diri mereka semakin menjadi-jadi. Jangankan menyerahkan diri, menyesal atas perbuatannya pun tidak. Jadi, mereka membuang mayat Ema ke sungai untuk menghilangkan jejak.
Kehilangan putrinya dengan begitu tragis menjadi mimpi buruk bagi Nagamine, sehingga ia bertekad untuk mencari para pelakunya dan membalaskan dendamnya. Dari sini, Keigo seakan menuangkan pemikirannya tentang Hukum Pidana Anak melalui Nagamine yang teringat bahwa dalam beberapa kasus, pelaku tidak dihukum mati, apalagi jika pelakunya di bawah umur.
Hukum Pidana Anak memang hadir untuk korban, tetapi bukan untuk mencegah tindak kejahatan. Karena hukum itu dibuat berdasarkan tindak kejahatan yang dilakukan anak-anak di bawah umur, keberadaannya justru menyelamatkan mereka. Tidak adanya refleksi kesedihan serta kegeraman pihak korban dan pengabaian akan kondisi sebenarnyaa membuat hukum itu tidak lebih daripada pedoman moral penuh kepalsuan. (hal. 76)
Bitter truth. Bagi Nagamine, para pelaku — khususnya yang di bawah umur — setelah melakukan kejahatan dan melakukan rehabilitasi, lalu kembali ke masyarakat begitu saja sangat mengabaikan perasaan pihak korban. Hukum yang katanya sebagai sarana untuk mencapai keadilan, hasilnya belum tentu adil bagi korban.
Dan, ya. Aku sedikitnya setuju bahwa hukum pidana anak yang seperti ini tidak bisa mencegah kejahatan. Di beberapa kasus, mereka sendiri paham bahwa mereka masih anak-anak sehingga tahu bahwa dia tidak bisa dihukum berat. Hukuman yang akan mereka terima itu bagi mereka hanya hal yang sepele, makanya mereka bisa untuk tidak ragu melakukan kejahatan. Air mata dan permintaan maaf apabila tertangkap, bagi aku pribadi, tidak jarang bahwa hal itu bukan perasaan sesal yang murni, melainkan karena sudah ‘tertangkap basah’.
Kemudian Keigo juga seakan bertanya pada para pembaca melalui artikel yang disebutkan dalam buku:
Meski merehabilitasi anak muda yang terjerumus ke jalan yang salah adalah sesuatu yang penting, siapa yang akan menyembuhkan luka hati korban kejahatan mereka? Tidakkah semua usaha demi memikirkan masa depan para pelaku kejahatan justru terlalu kejam bagi para orang tua yang jiwa anaknya direnggut oleh sang pelaku? (hal. 321)
Sungguh abu-abu. Aku bahkan nggak bisa jawab pertanyaan itu.
Bagiku, apabila itu adalah sebuah kecelakaan atau sang pelaku menyesal sedalam-dalamnya sampai membawa perasaan bersalah itu seumur hidupnya, rehabilitasi dan kembali ke masyarakat bisa dipertimbangkan. Namun, apabila anak itu bahkan meminta maaf hanya karena ‘ketahuan’ dan tidak menyesal, sepertinya rehabilitasi dan kembali ke masyarakat bukan jawabannya. Siapa yang bisa menjamin ia tidak akan mengulanginya lagi?
Namun, siapa yang bisa memastikan bahwa pelaku benar-benar menyesal atau tidak?
Entahlah, tetapi, satu hal yang pasti. Tindakan anak — apalagi di bawah umur — merupakan tanggung jawab orang tua. Dalam novel ini, orang tua dari para pelaku cenderung melindungi anaknya dan percaya bahwa anak-anak mereka adalah anak-anak yang baik. Mereka cenderung tidak objektif dan menolak kejahatan.
Kesalahan didikan membuat anak-anak mereka menjadi monster yang memakan jiwa anak-anak lain, merenggutnya dari orang tua mereka. Sebagai sesama orang tua seharusnya memahaminya, tetapi tidak jarang dari mereka yang hanya mementingkan perasaannya sendiri. Mereka tanpa sadar menciptakan monster dengan tangannya sendiri.
Jadi, para orang tua, monster atau manusia, mana yang akan kalian ciptakan?
