Camus, TikTok, dan Krisis Makna: Sebuah Wawancara ImajinerBersama Albert Camus

Pagi itu, Camus duduk di sebuah kafe kecil di sudut kota yang tak tercantum dalam peta. Ia mengenakan mantel wol kelabu dan topi fedora yang sudah mulai usang, dengan rokok Gauloises menyala di jemari kanannya.

Asap tembakau melayang pelan, membentuk lengkungan samar di udara musim gugur. Di hadapannya: secangkir kopi hitam dan tatapan kosong yang tajam — seperti sedang memandang sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan bahasa manusia.

Ia menoleh perlahan ke arah kami, seakan tahu bahwa pertanyaan-pertanyaan sulit akan segera datang.

Dan dengan anggukan kecil yang nyaris tak terlihat, ia mempersilakan kami untuk memulai. Kami tahu, ini bukan sesi tanya jawab biasa. Ini otopsi terhadap absurditas, terhadap kepala Camus yang tak pernah benar-benar diam.

Pewawancara (P):
Sekarang kita serius. Jika benar absurditas adalah titik awal pemikiran Anda, apakah manusia modern masih memiliki keberanian untuk bertanya seperti Anda bertanya delapan dekade lalu?

Albert Camus (AC):
Tidak ada yang berubah, sebenarnya. Manusia tetap menggali makna di gurun yang sunyi.

Perbedaannya hanya ini: dahulu mereka sadar bahwa dunia diam.
Hari ini, mereka menenggelamkan sunyi itu dalam notifikasi. Keberanian yang saya maksud bukan keberanian fisik, melainkan keberanian untuk menatap kekosongan tanpa lari.

Dan itu, saya rasa, masih sangat langka.

P:
Anda memulai The Myth of Sisyphus dengan kalimat radikal:
“Satu-satunya persoalan filsafat yang sungguh serius adalah bunuh diri.”
Apakah kalimat itu masih relevan hari ini?

AC:
Lebih relevan dari sebelumnya.
Bukan karena lebih banyak orang ingin mati — meskipun itu kenyataan yang menyakitkan — tapi karena lebih banyak orang hidup tanpa alasan.

Ketika sistem membuat hidup terasa otomatis, ketika pekerjaan menjadi repetisi tanpa nilai, ketika cinta direduksi menjadi algoritma, maka pertanyaan itu muncul kembali:
“Untuk apa semua ini?”

Kalimat saya itu bukan seruan putus asa,
tapi pertanyaan paling jujur yang bisa diajukan seseorang kepada hidupnya sendiri.

P:
Banyak orang hari ini melarikan diri ke agama, teknologi, bahkan gaya hidup sebagai bentuk pelarian dari absurditas.

Apakah semua itu termasuk dalam kategori “bunuh diri filosofis” versi Anda?

AC:
Saya tidak menyalahkan siapa pun yang mencari makna.
Tapi saya menolak kebohongan yang dipelihara hanya agar kita bisa tidur di malam hari.

Jika Anda percaya pada Tuhan karena sungguh menemukan iman, itu kekuatan.

Tapi jika Anda memeluknya hanya agar hidup “terasa” masuk akal,
itu sama saja dengan menjual kesadaran Anda.

Teknologi, agama, bahkan hiburan hari ini bisa menjadi candu,
dan candu tidak menyembuhkan. Ia hanya menunda sakit.

P:
Kita bicara soal Sisyphus. Dalam dunia kerja hari ini, ia bisa menjadi simbol pekerja kantoran, pengantar makanan, atau influencer yang harus terus menciptakan konten.

Bagaimana Anda melihat Sisyphus dalam lanskap modern?

AC:
Sisyphus bekerja selamanya dalam siklus yang sia-sia.
Hari ini, banyak orang hidup dalam siklus serupa, tapi tanpa kesadaran.
Yang membuat Sisyphus bebas bukan pekerjaannya, tapi kesadarannya bahwa itu sia-sia, dan ia tetap melakukannya.

Dalam kesadaran itulah lahir kebebasan. Tanpa itu, kita hanya mesin.
Itulah tragedi manusia modern: mereka mengira mereka hidup, padahal mereka hanya bergerak.

P:
Kalau Sisyphus hari ini jadi pengguna TikTok, menurut Anda apa yang akan terjadi?

AC:
Ia akan terus menggulir layar.
Naik, turun, naik, turun — seperti batunya.
Setiap video menawarkan tawa, tarian, cinta palsu, atau kemarahan yang dikurasi. Tapi seperti batu yang selalu jatuh, kepuasan dari satu video tak pernah bertahan.

Yang membuatnya tragis bukan teknologinya, tapi ketiadaan kesadaran bahwa ia sedang tersesat.

Kalau ia sadar, TikTok bisa jadi alat. Tapi kalau tidak, itu jadi batu — dan ia tak pernah berhenti mendorongnya ke atas hanya untuk tergelincir lagi.

P:
Apakah Anda anti hiburan?

AC:
Sama sekali tidak. Saya suka tawa. Saya suka ironi. Tapi saya takut ketika hiburan dijadikan alat pelupa, bukan pengingat.

Kita tidak butuh hidup yang terus-menerus serius. Tapi kita juga tidak bisa terus-menerus menghindari pertanyaan penting dengan video berdurasi 15 detik.

P:
Kalimat Anda yang paling terkenal:
“Kita harus membayangkan Sisyphus bahagia.”

Apa artinya kebahagiaan bagi seseorang yang sadar bahwa hidup tidak punya makna objektif?

AC:
Kebahagiaan bukan hadiah. Ia adalah keputusan. Sisyphus bahagia bukan karena batunya menjadi ringan, tapi karena ia berhenti mengeluh dan mulai tertawa.

Begitu ia menerima bahwa batu itu akan jatuh selamanya,
ia menjadi lebih kuat dari batu itu sendiri.

Bahagia, dalam dunia yang absurd, adalah bentuk pemberontakan.
Dan hanya mereka yang memberontak bisa merasa bebas.

Camus lalu menyandarkan punggungnya pada kursi, memandangi sisa asap yang mengambang di udara. Lalu, ia mengembuskan napas perlahan, seolah mencoba meyakinkan kita bahwa absurditas itu tak perlu ditakuti — cukup dikenali, disambut, dan dijalani.

P:
Jika Anda hidup di era sekarang, dengan krisis iklim, perang, eksploitasi digital, dan keletihan kolektif… apakah Anda akan tetap menulis hal yang sama?

AC:
Saya akan menulis hal yang sama, tapi mungkin dengan kalimat yang lebih pendek dan lebih pedih.

Manusia hari ini dikepung absurditas dari segala arah, tapi diberi begitu banyak alat untuk pura-pura tidak melihatnya. Saya tidak anti-teknologi.
Saya anti-kepalsuan.

Dan dunia hari ini adalah pertunjukan yang terlalu lama berlangsung,
dengan penonton yang lupa bahwa mereka bisa keluar dari gedung itu kapan saja.

P:
Apakah Anda percaya pada harapan?

AC:
Saya percaya pada hari esok, tapi tidak pada janji-janji indah.
Harapan saya bukan soal akhir cerita, tapi soal bagaimana kita hidup sekarang.

Saya percaya bahwa berjalan dalam gelap dengan mata terbuka
lebih jujur daripada memejamkan mata dan bermimpi terang.

P:
Apakah seni bisa menyelamatkan manusia dari absurditas?

AC:
Seni tidak menyelamatkan. Tapi ia memberi ruang untuk berdamai.
Saat kita menulis, melukis, atau menggubah musik, kita menandai jejak dalam kekosongan.

Dan jejak itu cukup untuk mengingatkan kita bahwa kita pernah di sini.

P:
Apa yang Anda rindukan dari dunia ketika Anda masih hidup?

AC:
Cahaya. Laut. Jalanan yang basah setelah hujan. Bau roti.
Dan mungkin, percakapan seperti ini — yang tidak menjanjikan jawaban, tapi tetap berani bertanya.

P:
Jika suatu hari batu itu berhenti menggelinding,
apa yang akan dilakukan Sisyphus?

AC:
Ia akan merindukan batu itu. Karena dalam batu itu,
ia belajar siapa dirinya.

Ketika beban hilang, manusia kadang kehilangan bentuk.
Jadi mungkin ia akan mencari gunung lain, dan batu yang baru.

P:
Apa yang akan Anda katakan kepada seorang anak muda
yang baru hari ini menyadari bahwa hidupnya mungkin sia-sia?

AC:
Saya akan katakan:
“Baik. Itu awal yang bagus.”
Kesadaran bahwa hidup tidak menawarkan makna otomatis
bukan akhir dari segalanya — itu justru titik mula dari kehidupan yang jujur.

Setelah itu, kamu akan belajar mencintai hal-hal kecil.
Laut. Roti hangat. Mata yang jujur. Sentuhan. Cahaya pagi.
Dan kamu akan tahu:

kita tidak butuh makna untuk hidup,
kita hanya butuh alasan untuk terus melangkah.

Itu sudah cukup.

Di akhir percakapan, Camus menghabiskan kopinya. Ia tak banyak bicara setelah itu. Hanya senyum tipis di sudut bibir, dan langkah menjauh dengan mantel bergoyang tertiup angin. Seolah ia tahu, dunia tak akan pernah memberi jawaban. Tapi tetap ada sesuatu yang pantas untuk dijalani.

Batu itu tak akan berhenti jatuh. Tapi kita bisa memilih untuk tetap mendaki.

Leave a Reply