Review Buku: Entrok. Tentang perempuan, perjuangan dan…

Tentang perempuan, perjuangan dan keadilan

Buku Entrok adalah salah satu buku yang aku DNF (Did Not Finish) selama tujuh bulan lamanya, tetapi akhirnya bisa kuselesaikan hanya dalam waktu empat hari saja.

Entrok merupakan salah satu novel karya seorang penulis Indonesia kelahiran Magetan, Okky Madasari. Novel ini pertama terbit pada tahun 2010, sebagai buku keduanya.

Source: Gramedia

Entrok bercerita tentang seorang perempuan bernama Marni yang berjuang untuk mendapatkan sesuatu yang sangat ia inginkan: sebuah entrok. Dalam bahasa Jawa, entrok berarti bra. Marni kecil yang mulai beranjak remaja mulai mengalami perubahan pada tubuhnya — dadanya membesar, dan ia melihat saudaranya sudah menggunakan entrok. Pada masa itu, entrok merupakan barang mewah yang hanya dimiliki oleh kalangan tertentu. Marni sangat menginginkannya.

Demi mendapatkan entrok yang diinginkannya, Marni bekerja keras membantu simboknya di pasar sebagai pengupas singkong. Namun, upah yang diterima hanya berupa singkong lagi, sehingga tidak cukup. Marni kemudian memutuskan menjadi kuli — pekerjaan yang dianggap “ora ilok” (tidak pantas) bagi perempuan. Berkat kerja kerasnya, akhirnya ia berhasil membeli entrok pertamanya.

Perjuangan Marni tidak berhenti di situ. Setelah menikah dengan Teja, laki-laki yang ia temui di pasar ketika mencari entrok, hidupnya terus diwarnai kerja keras. Ia dan Teja bekerja sebagai kuli, kemudian berdagang bakulan, hingga akhirnya Marni menjadi seorang peminjam uang bagi warga sekitar — meskipun kerap dicap sebagai lintah darat.

Sementara itu, Rahayu, anaknya, yang disekolahkan tinggi dan mendapat pelajaran agama, justru menganggap apa yang dilakukan ibunya sebagai dosa. Marni yang masih menganut kepercayaan animisme, menyembah leluhur “Si Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa” sering kali dipandang salah oleh anaknya sendiri.

Konflik antara Marni dan Rahayu terasa sangat nyata, terutama dalam hal perbedaan pemikiran dan kepercayaan. Rahayu yang tumbuh dengan pendidikan formal dan pemahaman agama yang lebih luas sering kali berbenturan dengan Marni, ibunya, yang sejak kecil tidak pernah diperkenalkan pada Tuhan yang kini disembah oleh Rahayu. Perbedaan latar belakang dan pengalaman ini menimbulkan kesenjangan pengetahuan antara keduanya — sebuah potret nyata dari benturan dua generasi yang lahir di zaman berbeda.

Cerita ini berlatar waktu antara tahun 1950 — 1999 di daerah Jawa. Karena itu, novel ini banyak menggambarkan situasi sosial dan politik Indonesia pada masa Orde Baru: penembakan misterius terhadap orang-orang yang dianggap meresahkan masyarakat, tekanan untuk memilih partai beringin pada pemilihan umum, penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat militer, serta bagaimana harta dan kekuasaan bisa meringankan masalah.

Selain itu, novel ini juga menyinggung kebijakan pemerintah terhadap perempuan pada masa itu, seperti program Keluarga Berencana (KB) yang dilakukan tanpa edukasi yang memadai. Apapun yang terjadi masyarakat seolah hanya punya dua pilihan: patuh pada negara atau dicap sebagai PKI. Ironisnya, ketidakadilan sosial serta gambaran sosial politik Indonesia dalam buku Entrok masih terasa hingga saat ini.

Saat membaca novel ini aku dibuat geram dengan setiap karakternya. Berharap Marni mendapatkan akhir yang bahagia. Namun, kisah Marni berakhir tragis yang menyayat hati, dan membuat hatiku ingin berteriak “mana keadilan untuk Marni?”

Entrok menjadi simbol perjuangan dan ambisi perempuan dalam menghadapi ketidakadilan budaya patriarkis. Entrok menjadi potret keteguhan seorang perempuan dalam memperjuangkan hidup, martabat, dan mimpinya di tengah ketimpangan sosial serta kerasnya dunia yang mengekang perempuan. Walaupun akhirnya tidak berakhir bahagia sekalipun.

Learn more about Review Buku: Entrok. Tentang perempuan, perjuangan dan…

Leave a Reply