Mulut itu, ternyata benda ajaib. Kadang lebih sakti dari jampi-jampi. Begitu niatnya lewat angka 70%, semesta langsung otomatis nyusun skenario. Jadi benar, sebelum ngomong memang harus dipikir dulu.
Sekitar sebulan lalu, di tengah high season, saya nyeletuk ke teman,; “Duh, pengen istirahat kerja sebulan deh. Dari dulu aku nggak pernah nggak kerja.”
Kalimat itu keluar begitu saja, seperti kentut yang nggak direncanakan. Dan rupanya, semesta mendengarnya dengan serius.
Benar saja, sebulan kemudian, keinginan itu terwujud dengan versi yang ya… agak nyeleneh: patah tulang. Rasanya kayak pesen es teh manis, tapi yang datang malah es teh tawar. Tetap bisa diminum sih, cuma agak pait aja.
Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya masuk ambulans. Dramatis banget. Lengan baju saya disobek seperti adegan drama, dagu dijahit tiga jahitan. Pertama kali juga saya diinfus, dibius, dan dioperasi. Dan bius ini, sumpah, after taste-nya nggak oke. Perut rasanya kayak diaduk-aduk, napas aja bikin mual. Untung cuma sementara.
Yang bikin kaget bukan cuma sakitnya, tapi juga adegan bonusnya. Saya disibin oleh perawat setiap pagi dalam keadaan… ya, telanjang bulat. Aaaaaa, malunya luar biasa. Tapi mau bagaimana lagi, saya bahkan nggak bisa gerak sendiri.
‘Sibin’ itu, kalau kamu belum tahu, proses menyeka seluruh tubuh pakai air dan sabun dengan waslap yang sudah diperas. Rasanya kayak bayi, cuma bedanya saya punya rasa malu.
Belum cukup sampai situ, karena tangan saya patah dan nggak bisa pipis sendiri, perawatnya sampai bantu lepasin celana dalam, lalu bantuin pakai lagi setelahnya. “Gapapa, saya biasa ngurus ibu melahirkan kok, Mbak,” katanya. Dan entah kenapa, kalimat itu malah bikin saya berpikir, Oke, berarti nanti pas melahirkan saya udah pengalaman dikit ya… secara mental dan rasa malu.
Lima hari dirawat. Makanan rumah sakit itu sebenarnya enak, kalau kamu lagi sehat. Tapi kalau lagi sakit, semuanya terasa hambar, kayak hidup tanpa sambal. Nggak ada yang goreng-goreng, nggak ada yang pedes. Semuanya rebusan.
Suhu ruangan rumah sakit lumayan menyelamatkan dari panas Semarang yang waktu itu gila-gilaan. Begitu pulang, saya pikir kampung bakal lebih sejuk. Ternyata sama aja. Masuk rumah langsung keringetan karena nggak ada AC.
Detik itu juga saya berpikir, “Yah, harusnya aku ikut kata dokter pulang besok aja, kalau tahu dunia berubah sepanas ini.” -eh
Tapi ya sudah, nasi sudah jadi bubur, telur sudah terlanjur diceplok. Kalau nggak karena geli tiap pagi harus “ngumbar aurat” ke suster, saya mah betah-betah aja di kamar rumah sakit itu. Istighfar.
Dari semua hal di atas, yang paling bikin saya speechless justru kebaikan orang-orang. Saya ini bukan orang sebaik itu, tapi entah kenapa mereka memutuskan untuk sebaik itu sama saya. Ada yang rela nungguin, nganter makanan, atau sekadar japri tiap malam cuma buat nanya, “Masih sakit nggak?” Padahal mereka juga punya hidup masing-masing.
Saya cuma bisa berdoa, semoga mereka sehat selalu, semoga kebaikan mereka dibalas berkali lipat, dan semoga, kalau surga ada daftar tunggunya, nama mereka sudah di urutan paling depan.
Dengan menulis ini, saya sadar, ternyata saya nggak sedih dengan musibahnya. Saya malah bersyukur karena lewat patah tulang, Tuhan kayak lagi kasih surat cinta dalam bentuk jeda.
Beberapa waktu lalu saya sempat merasa nggak adil: kenapa saya nggak pernah istirahat kerja, kenapa hasil kerja nggak kelihatan, kenapa hidup rasanya capek sekali.
Dan duar, Tuhan langsung jawab, dengan cara yang nggak bisa saya tolak. Mungkin memang begitu cara-Nya, nggak selalu lembut, tapi selalu tepat. Supaya saya yang selalu lari, akhirnya duduk. Supaya saya yang sibuk kerja, akhirnya diam dan sadar: bahwa doa saya didengar oleh-Nya. Selalu.
(Nangis)
Learn more about review patah tulang.. Mulut itu, ternyata benda ajaib. Kadang…
