Sean W. Anthony. Muhammad and the Empires of Faith: The Making of Prophet of Islam (Oklahoma, California: University of California Press, 2020). ISBN: 9780520974524 https://www.ucpress.edu/books/muhammad-and-the-empires-of-faith/epub-pdf
Review oleh: Frial Supratman
Sebagai seorang Muslim, tentu saja, saya mengimani bahwa “Tiada Tuhan yang layak disembah selain Allah, Nabi Muhammad adalah utusan Allah.” Itu harus terucap dari lisan seorang Muslim. Namun akan jauh lebih baik jika diikuti oleh perbuatan yang mencerminkan kepatuhan terhadap segala hal yang telah digariskan oleh Allah. Muslim adalah bukan saja tentang apa yang dikatakan, tetapi apa yang diperbuatnya.
Nabi Muhammad tentulah seorang pembawa pesan-pesan Allah yang sudah saya ketahui sejak kecil. Sebagai seorang yang sudah menjadi Muslim sejak lahir, saya menerima begitu saja mengenai keberadaan rasul pamungkas, penutup, dari para rasul yang telah diturunkan Allah. Bahkan, saya pun diajarkan untuk mengikuti Sunnah yang dilakukan oleh Sang Nabi.
Secara kronologis, kehidupan Sang Nabi Muhammad pun sudah saya ketahui sebelum saya duduk di bangku sekolah dasar. Di negara-negara Muslim, memori atas Sang Nabi diabadikan dalam berbagai macam hal, baik dari nyanyian, puisi, pembacaan “kitab Barzanji”, hingga perayaan-perayaan seremonial. Di Cirebon, Jawa Barat, kelahiran Nabi Muhammad dirayakan dengan berbagai acara tradisional, seperti penyucian benda-benda pusaka. Di sekitar keraton, biasanya diselenggarakan pasar malam yang semarak. Kami menyebutnya “muludan”.
Penerimaan terhadap sosok Rasulullah tentu sangat berbeda di dunia akademik. Perdebatan seputar sejarah Islam di masa awal sangat semarak di dunia akademik, khususnya di kampus-kampus Barat. Para sarjana Barat dengan kritis mempertanyakan bukti-bukti empiris mengenai keberadaan Rasulullah. Bahkan, perdebatan dilanjutkan dengan sikap skeptis terhadap buku-buku yang ditulis oleh para sarjana Muslim yang masa hidupnya sudah berjarak dari masa hidup Nabi Muhammad. Di kalangan sejarawan, sikap kritis untuk mempertanyakan bukti-bukti empiris tentu sah-sah saja.
Sean W. Anthony (2020) memberikan pandangan yang sangat kritis terhadap perdebatan seputar keberadaan Nabi Muhammad beserta dengan bukti-bukti historis yang mendukungnya. Dalam bukunya yang berjudul Muhammad and the Empires of Faith, Anthony (2020) menjelaskan upaya rekonstruksi keberadaan Nabi Muhammad dalam suatu konteks politik, serta sosio-kultural masyarakat di era Antik Terakhir (Late Antiquity) antara tahun 250–750 Masehi.
Sumber sejarah yang menjadi fokus dari Anthony (2020) adalah sirah-maghazi, suatu jenis literatur mengenai sejarah yang menceritakan ekspedisi militer yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Seperti yang umumnya diketahui, bahwa terdapat peperangan dan ekspedisi yang dilakukan oleh Nabi Muhammad bersama para sahabatnya. Para “sejarawan” saat itu mengabadikan peristiwa-peristiwa tersebut dalam suatu buku dengan jenis sirah-maghazi. Terdapat banyak sirah-maghazi, seperti Kitab al-Maghazi yang ditulis oleh Ma’mar Ibn Rashid.
Bagi kebanyakan Muslim yang awam, tentu saja, sulit sekali mengkritisi sejarah hidup seorang nabi. Kadang-kadang, menghindari ini karena merasa sungkan. Namun di kalangan akademisi, hal ini menjadi suatu wacana yang sangat serius karena seorang akademisi memang harus mengkritisi bukti-bukti historis yang ditawarkan. Di sinilah Sean W. Anthony (2020) mengetengahkan problema kritis atas rekonstruksi biografi Muhammad dan sejarah Islam awal dengan sirah-maghazi.
Kajian kritis yang dilakukan oleh Anthony (2020) tentu saja bukan yang pertama. Malahan, dia menulis buku Muhammad and the Empires of Faith sebagai respon atas perkembangan historiografi dan kajian kritis seputar sejarah Islam awal. Anthony (2020) pun mengetengahkan pendapat dari para sejarawan besar, seperti Patricia Crone, yang menyangsikan keakuratan dari Kitab al-Maghazi yang ditulis oleh Ibn Ishaq (wafat 767) karena jarak antara masa hidup Ibn Ishaq dengan masa hidup Nabi Muhammad sangat jauh (halaman 3). Sebagai seorang yang dilatih dalam ilmu sejarah, saya memahami bahwa sejarawan memang sebisa mungkin menggunakan sumber dokumentasi yang terdekat dari periode yang sedang diteliti.
Menurut Anthony (2020), literatur sirah-maghazi memang tidak dapat digunakan sendirian untuk merekonstruksi sejarah hidup Nabi Muhammad. Dia mengakui bahwa literatur sirah-maghazi cukup problematik jika hanya digunakan sebagai satu-satunya sumber sejarah (halaman 3). Di dalam buku ini, Anthony (2020) menjelaskan bahwa kita harus menempatkan sirah-maghazi sebagai sumber terakhir yang dapat digunakan setelah empat sumber utama yang disebutnya sebagai “first-order sources”: “1)Quran; 2)bukti epigrafi, dokumenter, arkeologis; 3) laporan sezaman dan hampir sezaman yang ditulis oleh non-Muslim, baik itu berbahasa Armenia, Yunani, Suryani (Syriaq); 4)sumber-sumber berbahasa Arab” (halaman 2). Kemampuan para sejarawan dalam menguak empat dokumen penting ini dapat menciptakan “pandangan beresolusi rendah” (halaman 237).
Tentu saja pendapat Anthony (2020) mengundang banyak tanya, terutama di kalangan Muslim, mengenai posisi Quran. Apakah Quran menghasilkan “pandangan beresolusi rendah”? Di bagian awal, Anthony (2020) menjelaskan posisi Quran sebagai “first-order sources” atau sumber-sumber yang berada di urutan pertama. Tentu saja posisi Quran sangat penting dan menjadi sumber paling utama untuk merekonstruksi sejarah hidup Rasulullah. Anthony (2020) pun menyatakan bahwa “The Qur’an is the earliest and most important artifact of the life of Muhammad, and, therefore, the best witness to religiosity and sociocultural milieu of his earliest followers” (halaman 11). Quran menjadi kitab suci yang sangat bermanfaat untuk melihat kerelijiusan dan suasana sosio-kultural dari para pengikutnya.
Kendati demikian, Quran tetap tidak dilihat sebagai buku sejarah murni. Sebagai seorang sejarawan, Anthony (2020) justru menggunakan al-Quran — juga sumber-sumber lainnya yang masuk dalamm “first-list sources” — untuk memahami sirah-maghazi. Dengan turut serta menyertakan sirah-maghazi sebagai sumber dalam merekonstruksi sejarah, maka ini dapat menciptakan gambaran dengan resolusi yang lebih tinggi (“higher resolution) (halaman 238). Jadi, saya melihat Anthony (2020) menjadi penengah antara mereka yang terlalu optimis terhadap sirah-maghazi dan mereka yang pesimis.
Anthony (2020) mengemukakan beberapa strategi agar dapat menjadikan sirah-maghazi sebagai sumber yang bermanfaat untuk merekonstruksi sejarah. Pertama, Anthony (2020) menyarankan untuk mengumpulkan sebanyak mungkin literatur sirah-maghazi, kemudian memeriksa identitas para penulis sambil menganalisis pengaruh dari lingkungan sosio-kultural mereka (halaman 235–236). Kedua, Anthony (2020) menekankan perlunya membaca sirah-maghazi sebagai produk literatur dari dunia Antik Terakhir (halaman 236). Di sini tentunya Anthony (2020) mengingatkan bahwa sirah-maghazi juga merupakan produk dari visi imperial dan kekuasaan dari para elite Islam. Dengan demikian, para sejarawan tetap bisa kritis terhadap sirah-maghazi.
Saya merekomendasikan agar para pembaca yang ingin memperdalam mengenai sejarah Islam era awal dan sejarah kehidupan nabi Muhammad untuk membaca buku Muhammad and the Empires of Faith yang ditulis oleh Sean W. Anthony. Buku ini menguak bagaimana sejarah hidup Nabi Muhammad direkonstruksi dengan kritis.
Learn more about Review: Rekonstruksi Sejarah Nabi Muhammad
